Gugatan Dikabulkan MK, Bima Arya-Dedie Rachim Batal Pamit

batal pamit
Pasangan Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto dan Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachiem batal pamit setelah gugatan mereka terkait masa jabatan kepala daerah diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Infografik timetoday.id

TIMETODAY.ID – Pasangan Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto dan Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachiem batal pamit setelah gugatan mereka terkait masa jabatan kepala daerah diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal, sebelumnya Bima dan Dedie telah menggelar beberapa acara perpisahan.

Seiring dengan keputusan tersebut, Bima dan Dedie akan tetap memimpin Kota Bogor hingga 20 April 2024. Bima Arya Sugiarto menyatakan rasa syukurnya karena gugatan mereka mengenai tafsir masa jabatan telah diterima oleh MK.

“Saya ingin memberikan kepastian kepada masyarakat Kota Bogor bahwa kami masih bersama, terus mengawasi layanan angkot, memastikan kebersihan alun-alun, dan akan melaksanakan tugas kami hingga akhir masa jabatan pada 20 April 2024,” ungkap Bima kepada wartawan, Kamis (21/12/2023).

Advertisement
Baca Juga :  Rekam Jejak Asmawa Tosepu, Pj Bupati Bogor yang Baru Dilantik

Pemohon uji materi Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota berpendapat bahwa pasal tersebut terlalu fokus pada waktu pemilihan tanpa memberikan klarifikasi mengenai masa jabatan.

Bima menjelaskan bahwa pelantikan mereka pada tahun 2019 setelah Pilkada 2018 menciptakan kekosongan norma terkait penempatan penjabat (Pj) pada akhir 2023, sedangkan masa jabatan mereka belum mencapai lima tahun.

“Perwakilan pemerintah hadir dalam sidang di MK, dan dengan keputusan MK yang bersifat final dan mengikat, kami akan melanjutkan tugas kami,” tambah Bima.

Selain Bima Arya, pemohon lain dalam perkara ini termasuk Murad Ismail (gubernur Maluku), Emil Elestianto Dardak (wakil gubernur Jawa Timur), Dedie A Rachim (wakil wali kota Bogor), Marten A Taha (wali kota Gorontalo), Hendri Septa (wali kota Padang), dan Khairul (wali kota Tarakan).

Baca Juga :  Pengarusutamaan Gender Jadi Perencanaan di Perangkat Daerah

Dalam pembacaan putusan hasil sidang yang diselenggarakan secara daring dari Jakarta, Kamis (21/12/2023), Ketua MK Suhartoyo menyatakan bahwa Pasal 201 ayat (5) UU Nomor 10 Tahun 2016 dianggap tidak sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945.

“MK menerima sebagian permohonan para pemohon,” kata Ketua MK Suhartoyo. Melalui pertimbangannya, MK menyatakan bahwa norma Pasal 201 ayat (5) UU Nomor 10 Tahun 2016 menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, dan memberikan perlakuan berbeda di hadapan hukum. ***

Follow dan Baca Artikel lainnya di Google News

=========================================================