Suku Korowai
Rumah pohon yang dihuni Suku Korowai.(Shutterstock/GUDKOV ANDREY)

TIMETODAY.IDSuku Korowai adalah suku yang baru berinteraksi dengan dunia luar sekitar 30 tahun yang lalu di pedalaman Papua Selatan, Indonesia dan berpopulasi sekitar 3000 orang. Suku terasing ini hidup di rumah yang dibangun di atas pohon yang disebut Rumah Tinggi.

Melansir Wikipedia.org, beberapa rumah mereka bahkan bisa mencapai ketinggian sampai 50 meter dari permukaan tanah. Suku Korowai adalah salah satu suku di daratan Papua yang tidak menggunakan koteka. Sampai tahun 1970, mereka tidak mengetahui keberadaan setiap orang selain kelompok mereka.

Bahasa Korowai termasuk dalam Rumpun bahasa Sungai Digul (Papua tenggara) atau dalam klasifikasi lama disebut Awyu-Dumut dan merupakan bagian dari filum Trans-Nugini. Sebuah tata bahasa dan kamus telah diproduksi oleh ahli bahasa misionaris Belanda.

Advertisement
Baca Juga :  Hari Raya Kuningan 2024 Tanggal Berapa, Apakah Masuk Hari Libur Nasional?

Serupa dengan Suku Kombai, penduduk dari suku ini membangun rumah pada pohon yang memiliki tinggi 10 hingga 30 meter. Terbuat dari kayu, rotan, bilah bambu dan kulit kayu, rumah Suku Koroway dibangun di atas pohon untuk mencegah serangan binatang buas pada zaman dahulu atau bahkan serangan dari suku lain. Untuk mencapai ke dalam rumah, mereka membuat tangga yang terbuat dari sebatang kayu.

Suku Korowai memiliki pembagian tugas sama seperti Suku Kombai. Kaum pria bertugas menebang pohon dan pergi ke hutan untuk berburu, mulai dari kus-kus, babi hutan hingga burung kasuari.

Sementara itu kaum wanita dari suku ini bertugas mengasuh anak dan mencari sagu. Ciri khas dari kaum wanita suku ini adalah mereka biasa memakai rok pendek yang bahannya didapatkan dari kayu dan serat sagu

Baca Juga :  Doa Malam Lailatul Qadar untuk Memohon Keberkahan

Mayoritas klan Korowai tinggal di rumah pohon di wilayah terisolasi mereka. Sejak tahun 1980 sebagian telah pindah ke desa-desa yang baru dibuka dari Yaniruma di tepi Sungai Becking (area Kombai-Korowai), Mu, dan Basman (daerah Korowai-Citak).

Pada tahun 1987, wilayah pedesaan dibuka di Manggél, di Yafufla (1988), Mabül di tepi Sungai Pulau (1989), dan Khaiflambolüp (1998).Tingkat absensi desa masih tinggi, karena relatif panjang jarak antara permukiman dan sumber daya makanan (sagu).

=========================================================