TIMETODAY.COM, BOGOR – Memasuki bulan puasa Ramadan, buah kolang kaling menjadi salah satu panganan yang banyak diburu masyarakat sebagai santapan berbuka puasa. Hal itu, membuat permintaan kolang kaling di pasaran meningkat di banding bulan-bulan lainnya.
Kolang kaling merupakan biji muda dari buah pohon aren yang sering dijadikan bahan campuran olahan minuman atau makanan manis.
Di daerah Bogor, pohon dari buah Caruluk ini dapat ditemui di beberapa wilayah seperti di Kecamatan Rumpin dan Leuwiliang. Di wilayah tersebut produksi kolang kaling telah dijalani oleh sejumlah Kepala Keluarga (KK) yang pengerjaannya masih dilakukan secara manual atau tradisional dan ini sudah menjadi mata pencaharian mereka sehari hari.
Ipang (30) salah seorang petani buah Caruluk di Kampung Cijantur, Desa Rabak, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, mengatakan, bahwa permintaan kolang kaling selalu meningkat jelang hingga masuk bulan puasa.
Di awal puasa permintaan kolang kaling bisa mencapai 5-8 kuintal per hari. Berbeda dengan hari-hari biasa di luar Ramadan yang hanya 1 kuintal.
“Kalau bulan Ramadan di awal puasa itu biasanya pesanan banyak, omzet juga meningkat. Beda dengan tahun lalu yang harganya jatuh karena banjir,” kata Ipang kepada Bogor-today.com, Selasa (5/4/2022).
Pria yang berkerja mengolah buah Caruluk di Gunung Harenos bersama tiga anggota keluarganya ini menjelaskan, proses menyiapkan kolang kaling ini dimulai dari pengambilan buah Caruluk di hutan. Satu pohon bisa menghasilkan 2-3 kuintal kolang kaling.
Setelah buah dilepas dari batangnya, Caruluk direbus selama satu jam supaya matang lalu buah dikupas untuk diambil kolang kalingnya. Setelah itu, kolang kaling ditumbuk dengan batang kayu lalu direndam menggunakan air yang bening. Selanjutnya kolang kaling siap dijual.
“Ini dipasarkannya ke wilayah sekitar Bogor, Parung, sampai Ciputat, oleh tengkulak yang mengambil ke sini. Untuk harga kolang kaling yang siap dipasarkan, kami jual Rp8 ribu per kilo,” terangnya.
Ia menuturkan, pembuatan kolang kaling ini merupakan profesi turun temurun. Namun, ia tidak tahu pasti sejak generasi ke berapa profesi ini dijalani.
“Baru menjalani usaha ini selama sekitar empat tahunan, ini sudah jadi profesi saya sehari hari. Apalagi pohon ini rajin berbuah seperti tidak mengenal musim. Jadi, bukan pas di bulan puasa aja kerjanya. Selain rame di bulan puasa, biasanya di bulan haji juga banyak pesanan,” pungkasnya. (adt)