Oleh : Ikhsan Harris Fadillah
Mahasiswa Unpak Ekonomi dan Bisnis (FEB)
Independensi Bank Indonesia (BI) sangat penting untuk menjaga stabilitas perekonomian nasional. Sebagai bank sentral, BI memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijijakan moneter yang kredibel dan dapat di percayai oleh kelompok ekonomi, yang merupakan dasar keputusan mereka. Idependensi ini juga diperlukan untuk menjamin keseimbangan antara kebijakan moneter dan fiskal, sehingga kondisi ekonomi tetap stabil.
Dengan status idependen, BI dapat menghindari campur tangan politik yang dapat merusak efektivitas kebijakan moneternya, serta menjaga kepercayaan publik terhadap sistem keuangan.
Beberapa hal yang memungkinkan terjadinya pelemahan idependensi BI selama kepemimpinan Jokowi adalah problematika yang begitu kompleks bagi sektor sosial-ekonomi di Indonesia. Seperti pembagian beban, kebijakan pembagian beban yang diterapkan selama pandemi telah meningkatkan beban keuangan BI, mengurai kepercayaan investor dan dorongan peran idependensi bank sentral dalam mengambil keputusan moneter.
Kemudian, sienergi dengan Pemerintah, peningkatan sinergi antara BI dan Pemerintah, terutama dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), dapat menimbulkan tekanan pada BI untuk mendukung kebijikan fiskal Pemerintah, sehingga terganggu idependensinya.
Lalu interversi Politik, terdapat kekhawatiran juga bawah itervensi politik dalam mengambil keputusan BI dapat mengurangi kebebasan dalam menetapkan kebijakan moneter yang seharusnya berdasarkan analisis ekonomi yang objektif.
Dan yang terakhir adalah dinamika ekonomi global, seperti inflasi dan suku bunga tinggi di negara lain, memaksa BI untuk merespons dengan cepat yang dapat membatasi ruang gerak idependensinya dalam mengambil keputusan jangka panjang.
Berdasarkan informasi yang ada, beberapa bukti data yang menunjukan frekuensi pertemuan dan intervensi pemerintah dalam kegiatan BI. Seperti koordinasi kebijakan dengan pemerintah, partisipan dalam dewan moneter, hak suara pemerintah dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG), kredibilitas dan kontrol presiden, kebijakan makroprudensial yang longgar, dan digitalisasi transaksi pemerintah.
Data-data ini yang dapat kita telusuri ini menunjukan bahwa frekuensi pertemuan dan intervensi pemerintah dalam kegiatan BI masih signifikan, meskipun BI sendiri berusahan mempertahankan kondisinya dengan koordinasi yang lebih erat dengan pihak pihak terkait. Namun, intimidasi dan tekanan politik yang mungkin dialamatkan ke BI dapat menggangu institusi otonomi bank sentral Indonesia.
“Bank Indonesia haruslah independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain.” (UU No. 3 Tahun 2004)
Beberapa variabel yang saya punya tidak memungkinkan adanya potensial growt. Inflasi dan deflasi, meskipun inflasi terkendali di kisaran 2,5 %, muncul lemahnya daya beli masyarakat dan ketidakmampuan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Lalu suku bungan yang tinggi, kebijakan BI yang memepertahankan suku bunga acuan di 6% dianggap menghambat pertumbuhan ekonomi. Peningkatan suku bunga berpotensi meningkatkan biaya pinjaman dan mengurangi8 konsumsi serta investasi.
Ekonom Faisal Basri menyoroti tingginya selisih bunga perbankan yang menghambat akses kredit murah bagi masyarakat. Dan juga stabilitas nilai tukar rupiah, nilai tukar rupiah mengalami tekanan signifikan, mencapai Rp. 16.450 per dolar AS pada Juni 2024.
Kebijakan BI untuk menahan suku bunga demi stabilitas rupiah tidak cukup efektif, dengan banyak ekonomelogi langkah-langkah yang lebih agresif untuk mendukung nilai tukar.
Secara keseluruhan, meskipun ada upaya menjaga stabilitas, bahwa kebijakan-kebiijakan yang ada belum tentu cukup untuk mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan dan memperbaiki kondisi ekonomi secara keseluruhan.
Perlu kita perhatikan bersama, meskipun Jokowi berfokus pada pembangunan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama sepuluh tahun terakhir cenderung stagnan, berada di kisaran 5% dan tidak mencapai target yang diharapkan.
Kebijakan infrastruktur yang diimplementasikan tidak memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, dan konsumsi rumah tangga menjadi faktor utama yang menopang PDB, bukan investasi produktif.
Pemerintahan Jokowi juga menghadapi kritik terkait pengelolaan utang yang meningkat drastis. Utang yang tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas atau pertumbuhan sektor riil dapat berpotensi membebani anggaran negara di masa depan. Hal ini menciptakan keraguan tentang keberlanjutan fiskal Indonesia.
Meskipun ada klaim penurunan angka kemiskinan dan pengangguran, ketimpangan sosial tetap menjadi masalah besar. Rasio Gini menunjukkan bahwa kesenjangan antara kaya dan miskin masih signifikan, mencerminkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak merata dan tidak semua lapisan masyarakat merasakan manfaat dari kebijakan ekonomi yang diterapkan.
Analisis menunjukkan bahwa meskipun terdapat upaya untuk menjaga independensi BI, berbagai faktor eksternal dan regulasi internal telah menyebabkan pelemahan yang signifikan dalam otonomi lembaga ini selama sepuluh tahun terakhir kepemimpinan Jokowi.
“Sangatlah menguntungkan, ketika Masyarakat tidak mengerti sistem perbankan dan ekonomi Negara. Karena jika mereka tahu, saya yakin akan terjadi Revolusi besok pagi.” (Henry Ford, Ford Motor Company). ***