Oleh : Karina Suwandi
Pagi itu, matahari belum sepenuhnya terbit, namun suara deru mesin truk sudah terdengar di tepian Sungai Ciliwung. Pak Marno, seorang pria paruh baya dengan wajah yang lelah namun penuh tekad, berdiri di sana, siap memulai hari kerjanya.
Seperti biasa, ia mengenakan topi lusuh dan sarung yang diikat di pinggang, seragam tak resmi para penambang pasir.
Setiap hari, Pak Marno turun ke sungai dengan sekop di tangan. Bersama rekan-rekannya, mereka mengeruk pasir yang kemudian diangkut dan dijual ke berbagai tempat. Pekerjaan ini bukanlah pekerjaan yang mudah.
Setiap kali mereka menurunkan sekop, pasir dan air bercampur menjadi satu, membuat berat sekop bertambah dua kali lipat. Namun, di balik setiap sekop yang diangkat, tersimpan harapan besar untuk keluarga yang menunggu di rumah.
Pak Marno memiliki dua anak yang masih sekolah. Istrinya, Bu Siti, bekerja sebagai penjual sayur di pasar. Pendapatan dari menambang pasir memang tidak besar, tetapi cukup untuk menyambung hidup dan memberikan pendidikan bagi anak-anak mereka. Pak Marno selalu berkata, “Asal anak-anak bisa sekolah tinggi, masa depan mereka pasti lebih baik.”
Hari itu, Pak Marno merasakan sesuatu yang berbeda. Sungai Ciliwung terlihat lebih deras dari biasanya akibat hujan deras semalam. Namun, ia tetap bekerja seperti biasa. “Pasir-pasir ini akan menjadi pondasi rumah, gedung, dan jalan. Kita sedang membangun masa depan,” katanya kepada dirinya sendiri, mencari semangat di tengah kepenatan.
Saat istirahat, Pak Marno duduk di bawah pohon rindang sambil memandangi sungai yang mengalir deras. Ia ingat ketika pertama kali menambang pasir dua puluh tahun yang lalu. Waktu itu, ia masih muda dan penuh energi. Kini, usianya semakin menua, tubuhnya tak sekuat dulu. Namun, semangatnya tetap sama.
Anak sulung Pak Marno, Rina, sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Ia mengambil jurusan teknik sipil dengan harapan bisa kembali membangun kampung halaman mereka. “Ayah, nanti aku yang akan menggantikan Ayah. Aku akan membuatkan rumah yang kuat untuk kita,” kata Rina suatu hari. Kata-kata itu menjadi penyemangat bagi Pak Marno untuk terus bekerja keras.
Sore harinya, setelah seharian bekerja di bawah terik matahari, Pak Marno pulang dengan badan yang lelah tapi hati yang puas. Setiap butir pasir yang ia kumpulkan hari ini, adalah langkah kecil menuju impian besar keluarga mereka. Di rumah, Bu Siti sudah menyiapkan makanan sederhana namun hangat. Mereka makan bersama sambil bercerita tentang hari mereka.
Malam itu, Pak Marno duduk di depan rumah, memandangi bintang-bintang di langit. Ia berpikir tentang masa depan, tentang anak-anaknya yang akan hidup lebih baik. Di antara butir pasir yang ia kumpulkan setiap hari, terselip harapan dan cinta yang tak ternilai. Pak Marno tahu, pekerjaan ini mungkin berat dan penuh tantangan, tetapi demi keluarga, ia akan terus berjuang.
“Selama ada harapan, kita akan selalu punya alasan untuk terus berusaha,” gumam Pak Marno sebelum akhirnya tertidur dengan senyum di wajahnya, siap menghadapi hari esok dengan semangat yang baru.***
Cerita ini hanya fiktif belaka. jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata.