TIMETODAY.ID – Film Indonesia bergenre horor selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari repertoar bioskop. Salah satu contohnya adalah Siksa Kubur (2024), yang baru-baru ini menjadi perbincangan hangat selama beberapa minggu terakhir setelah tayang perdana pada libur Lebaran, tepatnya Kamis (11/4/2024) lalu.
Karya dari sineas berpengalaman, Joko Anwar, film ini mencoba menggabungkan elemen horor dengan aspek keagamaan Islam, terutama mengenai konsep siksaan yang dialami oleh orang jahat setelah dimakamkan.
Tema ini menjadi pembeda utama dengan film-film horor Indonesia lainnya yang belakangan ini sering disorot karena penyalahgunaan simbol-simbol keagamaan untuk kepentingan eksploitasi horor.
Dengan durasi hampir dua jam (117 menit), Siksa Kubur menceritakan kisah dua bersaudara, Sita (diperankan oleh Faradina Mufti dan Widuri Puteri) dan Adil (Reza Rahadian, Muzakki Ramdhan).
Film dimulai dengan adegan tragis di masa remaja mereka, di mana Sita dan Adil menyaksikan orang tua mereka (Fachri Albar dan Happy Salma) tewas dalam serangan bom bunuh diri yang dilakukan oleh seorang pria misterius (Afrian Arisandy).
Pelaku tersebut mengklaim aksinya sebagai jihad, karena takut akan suara penderitaan orang berdosa yang disiksa dalam kubur.
Kisah berlanjut ke masa dewasa, di mana Sita bekerja di panti jompo dan dibantu oleh Adil yang menjadi petugas pemakaman. Mereka berdua berusaha mencari orang yang paling berdosa dan melihat apakah dia disiksa setelah dimakamkan.
Pilihan mereka jatuh pada Wahyu (Slamet Rahardjo), seorang donatur pesantren yang pernah mencabuli Adil dan puluhan santri lainnya.
Setelah Wahyu bunuh diri, Sita memasuki kuburannya untuk mencari bukti akan siksaan yang dialaminya. Namun, dia mulai merasakan pengalaman gaib yang membuatnya bimbang antara logika dan kepercayaan.
Joko Anwar, yang sebelumnya telah sukses dengan film-film horor seperti Pintu Terlarang (2009), Pengabdi Setan (2017), dan Perempuan Tanah Jahanam (2019), berhasil menggarap Siksa Kubur dengan baik.
Babak awal film, sebelum memasuki kisah Sita dan Adil dewasa, memberikan kesan yang kuat dan mendetail.
Babak awal ini juga menjadi salah satu bagian paling kuat dalam film. Adegan di toko roti menggambarkan dinamika keluarga secara mendalam, dan bagaimana seseorang bisa kehilangan kepercayaan terhadap agama yang mereka anut.
Dari segi cerita, babak ini memberikan latar belakang yang baik tentang karakter Sita, dengan akting dan dialog yang menyentuh hati.
Di toko roti itu juga, kita melihat Adil kecil menjadi korban bullying tanpa diketahui oleh orang tuanya. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kesadaran orang tua terhadap anaknya, apakah itu sebuah kelemahan dalam keluarga Sita yang sebelumnya digambarkan sebagai keluarga yang harmonis.
Atau mungkin ini adalah cara Joko Anwar untuk menyoroti bahwa orang tua seringkali tidak menyadari penderitaan yang dialami anak-anak mereka.
Ketika Sita berdebat dengan guru agamanya, Ningsih (Jajang C Noer), dan akhirnya memutuskan untuk melarikan diri dari pesantren, hal ini menggambarkan konflik internal yang dialaminya.
Warna merah pada jilbab yang dipakai Sita setelah pelariannya menjadi simbol ketidakpatuhan, dan juga menunjukkan bagaimana pihak sekolah mencapnya sebagai “pendosa”.***
Follow dan Baca Artikel lainnya di Google News atau via whatsapp timetoday wa channel