TIMETODAY.ID – Becak pernah menjadi moda transportasi ikonik Indonesia. Kemunculannya, tidak diketahui secara pasti. Namun begitu becak menjadi andalan di masa jayanya di era tahun 1960 hingga 1980-an.
Dikutip dari berbagai sumber, nama becak sendiri berasal dari kata Be Chia dalam bahasa Hokkien yang berarti “kereta kuda”.
Ada beragam versi sejarah awal ditemukannya becak. Di antaranya menyebutkannya berasal dari Jepang.
Disebutkan, becak pertama dibuat sekitar tahun 1869 di Jepang, setelah pencabutan larangan kendaraan beroda dari periode zaman Tokugawa (1603-1868) dan pada awal masa kemajuan teknis yang pesat di Jepang.
Dalam catatan berjudul “Pen to Kamera” terbitan 1937 itu disebutkan becak ditemukan orang Jepang yang tinggal di Makassar bernama Tayoshi Seiko yang memiliki toko sepeda. Ia berinovasi dari sepinya penjualan di toko sepeda nya, akhirnya memodifikasi sepeda dengan roda tiga seperti yang kini dikenal sebagai becak.
Seiring dengan perkembangan jamannya moda ini banyak beralih fungsi, selain angkutan umum penumpang dan barang, bahkan digunakan sebagai angkutan jenazah penganti ambulans dan terhitung langka.
Multifungsi yang mengerakan perekonomian masyarakat dan banyak kita temukan di sekitaran pasar tradisional, perkantoran, pusat keramaian dan bahkan di sekolah.
Becak mempunyai kekhasan nya masing masing sesuai daerahnya. Mulai dari model bentuk sampai motif dekorasi nya.
Bahkan kita kenal Bentor atau becak bermotor yang sangat familiar di Sumatera Utara. Tak terkecuali, becak khas Yogyakarta dengan modifikasi kuping di dua sisi rodanya dan tentu daerah lainnya yang ada di Indonesia.
Akhirnya, becak memiliki kekhasan tradisional, unik dan sekaligus sebagai simbol identitas dari sebuah daerah.
Lea Jellanik dalam Seperti Roda Berputar menulis becak didatangkan ke Batavia dari Singapura dan Hongkong pada 1930-an. Jawa Shimbun terbitan 20 Januari 1943 menyebut becak diperkenalkan dari Makassar ke Batavia pada akhir 1930-an.
Perkembangan di Jawa
Kapasitas normal becak adalah dua orang penumpang dan seorang pengemudi. Masuk ke Indonesia pertama kali pada awal abad ke-20 untuk keperluan pedagang Tionghoa mengangkut barang. Di tahun 1937, demikian tertulis dalam Star Weekly, becak dikenal dengan nama “roda tiga” dan kata betjak/betja/beetja baru digunakan pada 1940 ketika becak mulai digunakan sebagai kendaraan umum.
Awalnya pemerintah kolonial Belanda merasa senang dengan transportasi baru ini. Namun belakangan pemerintah melarang keberadaan becak karena jumlahnya terus bertambah, membahayakan keselamatan penumpang, dan menimbulkan kemacetan.
Jumlah becak justru meningkat pesat ketika Jepang datang ke Indonesia pada 1942. Kontrol Jepang yang sangat ketat terhadap penggunaan bensin serta larangan kepemilikan kendaraan bermotor pribadi menjadikan becak sebagai satu-satunya alternatif terbaik moda transportasi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Bahkan penguasa membentuk dan memobilisasi kelompok-kelompok, termasuk tukang becak, demi kepentingan perang melalui pusat pelatihan pemuda, yang mengajarkan konsep politik dan teknik organisasi.
Becak dilarang untuk beroperasi di Jakarta karena alasan tidak manusiawi atas dasar Perda 11 Tahun 1988, yang di dalamnya tercantum bahwa kendaraan resmi hanya kereta api, taksi, bis, dan angkutan roda tiga bermotor.
Becak setelah berkembang di Batavia atau Jakarta kemudian berkembang ke Surabaya pada tahun 1940, Jawa Shimbun terbitan 20 Januari 1943 menyebut becak diperkenalkan dari Makassar ke Batavia akhir 1930-an. Pasca perang, ketika jalur dan moda transportasi kian berkembang, becak tetap bertahan. Bahkan ia menjadi transportasi yang menyebar hampir di seluruh Indonesia. Pada pertengahan hingga akhir 1950-an ada sekira 25.000 hingga 30.000 becak di Jakarta. Jumlah becak membengkak dan pada tahun 1966 jumlah becak ada 160 ribu jumlah tertinggi dalam sejarah.
Gubernur Jakarta periode tahun 1966, Ali Sadikin mengeluarkan aturan mengenai larangan total angkutan yang memakai tenaga manusia, membatasi beroperasinya becak, dan mengadakan razia mendadak di daerah bebas becak.
Kebijakan serupa dilanjutkan oleh gubernur-gubernur berikutnya: Suprapto, Wiyogo Atmodarminto, Suprapto, dan Sutiyoso. Sebab, becak dianggap biang kemacetan, simbol ketertinggalan kota, dan alat angkut yang tak manusiawi.
Sementara, di sisi lain, becak juga mulai menghadapi pesaing dengan kehadiran ojek motor, mikrolet, dan metromini. Pada 1980, misalnya, pemerintah mendatangkan 10.000 minica (bajaj, helicak, minicar) untuk menggantikan 150.000 becak.
Pemerintah ketika itu memprogramkan para tukang becak beralih profesi menjadi pengemudi kendaraan bermotor itu. Bahkan pemerintah menggaruk becak dan membuangnya ke Teluk Jakarta untuk rumpon, semacam rumah ikan. Karena sulit, Gubernur Suprapto sampai bilang: “becak-becak akan punah secara alamiah.”
Kini keberadaan nya kurang begitu diminati, meski masih ada yang menggunakannya. Namun hal itu, becak tetap tumbang ditengah persaingan dan modernitas ruang dan teknologi. Banyak beralih ke transportasi praktis order via gawai. ***
Follow dan Baca Artikel lainnya di Google News atau via whatsapp TIMETODAY WA CHANNEL