TIMETODAY.ID, INDONESIA – Pemerintah kembali mengizinkan perjalanan mudik Lebaran di tahun 2022. Ini menjadi tahun pertama diizinkannya perjalanan mudik Lebaran di masa pandemi Covid-19.
Sebelumnya, pada Hari Raya Idul Fitri tahun 2020 dan 2021 pemerintah melarang masyarakat melakukan perjalanan mudik Lebaran. Tak heran mudik Lebaran kali ini disambut sangat antusias oleh masyarakat.
Presiden Joko Widodo memperkirakan akan ada 85 juta orang yang melakukan perjalanan mudik Lebaran 2022.
Mudik memang sudah menjadi tradisi yang dilakukan masyarakat di setiap perayaan Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran.
Orang-orang berbondong-bondong pulang ke kampung halaman selama masa libur Lebaran.
Namun sebenarnya, sejak kapan tradisi mudik Lebaran ini ada di Indonesia? Bagaimana sejarah dan asal-usul dari mudik itu sendiri? Berikut penjelasannya.
Arti kata mudik Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kemendikbud memiliki dua arti yakni pulang ke kampung halaman dan berlayar ke udik (hulu sungai, pedalaman).
Menurut Wikipediawan sekaligus Direktur Utama Narabahasa, Ivan Lanin, asal-usul kata mudik sudah ada sekitar 1390. Kata mudik ditemukan dalam naskah kuno berbahasa Melayu.
“Dari penelusuran di Malay Concordance Project, kata ‘mudik’ sudah dipakai pada naskah “Hikayat Raja Pasai” yang bertarikh sekitar 1390,” kata Ivan.
Serupa dengan yang dijelaskan pada KBBI Kemendikbud, kata mudik dalam naskah ini mengandung arti ‘pergi ke hulu sungai’.
“Kata ini tampaknya berkaitan dengan kata “udik” (hulu sungai) yang dilawankan dengan “ilir” (hilir sungai),” jelas Ivan.
Aktivitas mudik diperkirakan sudah ada sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam.
Hal itu diungkapkan oleh Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Silverio Raden Lilik Aji Sampurno.
“Awalnya, mudik tidak diketahui kapan. Tetapi ada yang menyebutkan sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam, ” kata Silverio.
Di era itu, wilayah kekuasaan Majapahit membentang luas hingga ke Semenanjung Malaya dan Sri Lanka.
Oleh karena itu, pihak kerajaan Majapahit menempatkan pejabatnya ke berbagai wilayah untuk menjaga daerah kekuasaannya.
Suatu ketika, pejabat itu akan balik ke pusat kerajaan untuk menghadap Raja dan mengunjungi kampung halamannya. Hal ini kemudian dikaitkan dengan fenomena mudik.
“Selain berawal dari Majapahit, mudik juga dilakukan oleh pejabat dari Mataram Islam yang berjaga di daerah kekuasaan. Terutama mereka balik menghadap Raja pada Idul Fitri,” jelas Silverio.
Mudik, menurut Silverio, adalah tradisi yang dilakukan oleh perantau di berbagai daerah untuk kembali ke kampung halamannya dan berkumpul bersama dengan keluarga, terutama saat Lebaran.
“Mudik menurut orang Jawa itu kan dari kata Mulih Disik yang bisa diartikan pulang dulu. Hanya sebentar untuk melihat keluarga setelah mereka menggelandang (merantau),” ujar Silverio.
Sedangkan menurut masyarakat Betawi, mudik diartikan sebagai “kembali ke udik”.
Dalam bahasa Betawi, kampung itu berarti udik. Saat orang Jawa hendak pulang ke kampung halaman, orang Betawi menyebut “mereka akan kembali ke udik”.
Akhirnya, secara bahasa mengalami penyederhanaan kata dari “udik” menjadi “mudik”.
Selain mengunjungi sanak keluarga di kampung halaman, saat mudik, para perantau juga melakukan ziarah ke kuburan sanak keluarganya.
Hal tersebut dilakukan untuk meminta doa restu agar pekerjaan dan kehidupan di perantauan berlangsung baik. Meski begitu, menurut Silverio ada perbedaan antara tradisi mudik dahulu dengan mudik zaman sekarang.
Di zaman dahulu, mudik dilakukan secara natural untuk mengunjungi dan berkumpul dengan keluarga. Sedangkan di era sekarang, perantau yang mudik juga memiliki tujuan lain yakni sebagai bentuk eksistensi diri. Contohnya saat mudik, para perantau tersebut membawa sesuatu yang membanggakan bagi diri dan keluarganya.
“Pada era ini kebanyakan pemudik memaksakan diri untuk tampil sebaik mungkin, cenderung wah,” kata Silverio. (*)